Salah seorang pemuda mengisahkan cerita
dirinya yang dapat dikata ‘aneh tapi nyata’. Cerita ini menyangkut
setiap anak yang menyia-nyiakan hak orangtuanya dan setiap orangtua yang
hanya mendapatkan kedurhakaan dari anak-anaknya. Pemuda ini bertutur,
“Aku tidak tahu darimana harus memulai cerita yang mengenaskan dan
sekarang aku alami ini sementara usiaku sekarang sudah mencapai 70
tahun. Apakah zaman kembali terulang bersamaku sehingga ibarat senjata
makan tuan berbalik kepada diriku dan aku meneguk air dalam cangkir yang
dulu pernah aku suguhkan kepada ibundaku saat aku masih muda?.
Agar anda memahami kisahku ini, baiklah kiranya aku ajak anda kembali
ke masa 50 tahunan yang lalu. Ketika itu, aku terpukul karena ayahandaku
yang seorang Bisnisman kaya meninggal dunia. Karena aku merupakan anak
tunggal, maka semua harta peninggalannya beralih ke tanganku; uang
sekian banyak, emas dan tiga kios dagang yang menjual model furniture
yang paling baik.
Ibundaku –rahimahallah- kala itu menyetujui
peralihan kekayaan ayahku ke tanganku karena beliau seorang yang amat
zuhud terhadap gemerlap dunia. Yang diperlukannya hanyalah sedikit
makanan dan minuman yang dapat menyumbal perutnya. Aku hidup bersama
ibundaku itu untuk beberapa masa hingga akhirnya beliau memilihkan
seorang isteri untukku dari kalangan kerabatku sendiri. Pada awal
mulanya, aku merasakan betapa baik dan mulia akhlaknya akan tetapi
nampaknya ibundaku tersebut tidak menyadari bahwa di balik sikap baiknya
yang berlebih-lebihan itu terdapat rencana jahat dan kebusukan di dalam
hatinya. Maka, begitu anak pertamaku lahir, dia sudah menuntut agar
dibelikan rumah tersendiri buat kami, jauh dari ibundaku. Alasannya, dia
ingin bisa lebih bebas di dalam mengatur kehidupannya sehingga bisa
menjadi ibu rumah tangga di rumahnya sendiri.
Pada mulanya,
aku berusaha menentang keinginan itu namun dia tetap ngotot dengan klaim
bahwa ibundaku selalu ikut campur dalam urusan pribadinya sehingga
akhirnya aku setuju untuk membangun rumah baru buat kami, jauh beberapa
mil dari rumah ibundaku. Ketika itu, aku tidak menggubris keberatan
ibundaku yang sudah tua renta dan dengan memelas menyatakan bahwa
dirinya butuh sekali orang yang bisa merawat dan melayani keperluannya
serta secara kontinyu bersamanya di rumah. Aku malah menuruti saja
keinginan isteriku agar bisa mandiri di rumahnya.
Pada
awal-awal perpindahanku, aku rajin mengunjungi ibundaku itu tiap pekan
guna membelikan keperluan makan dan minumnya namun di bawah tekanan
isteriku dan kengototannya, aku akhirnya mengurangi frekuensi
kunjunganku itu menjadi sebulan sekali saja mengingat jarak yang cukup
jauh antara rumah baru kami dan rumah ibundaku, disamping waktu itu alat
transportasi cepat belum ada, yang ada hanya onta dan tunggangan
lainnya.
Rupanya ibundaku menderita sakit parah. Maka, waktu
itu aku tawarkan kepada isteriku akan pentingnya kami kembali pulang dan
hidup bersama ibunda lagi guna menyiapkan makanan untuknya dan
mengontrol perawatan medisnya. Ternyata dia menolaknya dengan alasan
bahwa dia bukan pembantu ibundaku ataupun alasan lainnya. Demikianlah,
sehingga aku kembali tidak menggubris lagi keinginan dan keluhan
ibundaku agar kami tetap tinggal bersamanya. Aku hanya cukup dengan
menitip pesan kepada para tetangganya agar memperhatikan kondisinya. Dan
pada beberapa hari berikutnya, telah sampai berita kepadaku dari salah
seorang tentangga ibundaku bahwa ibundaku itu telah wafat.
Setelah itu, hari demi hari dan tahun demi tahun pun berlangsung tanpa
terasa sehingga kejadian yang menimpa ibundaku itu seolah terlupakan dan
aku meneruskan kehidupan keluargaku bersama isteriku dan anakku dengan
bahagia. Namun setelah wafatnya isteriku dua tahun lalu, aku kembali
merasakan kesendirian.
Aku kemudian berterus terang kepada
kedua anakku agar mengizinkanku menikah lagi dengan wanita lain, namun
keduanya menolak. Sekalipun penolakan mereka itu, aku tetap bertekad
ingin menikah namun betapa kagetnya aku dengan perubahan sikap keduanya
terhadapku. Perubahan sikap yang tidak pernah terbayang di benakku. Aku
rupanya sudah lupa bahwa diriku telah menyerahkan pengurusan manajemen
dan pengelolaan yayasan yang aku miliki dalam hidupku itu kepada
keduanya. Begitu melihat perubahan sikap keduanya tersebut, aku
mengancam akan mencabut perwakilan yang telah aku serahkan kepada
mereka, namun lagi-lagi aku dikagetkan dengan sikap keduanya yang malah
semakin tidak baik terhadapku bahkan sampai kepada batas memutus
hubungan denganku dan tidak lagi mengirimkan sejumlah uang yang biasanya
cukup untuk menghidupi kebutuhanku sehari-hari sebagaimana yang mereka
lakukan sebelum itu.
Setiap kali aku mengingat apa yang dulu
pernah aku lakukan terhadap ibundaku, berlinanglah air mataku. Kejadian
yang mengenaskan di dalam kehidupanku yang dulu pernah aku lakukan
terhadap ibundaku, kini terulang kembali dan menimpa diriku. Aku takut
bila di saat kematianku sama dengan kondisi ibundaku dulu, tanpa
kehadiran anak-anakku di sisiku. Yang aku harapkan sekarang hanyalah
keluasan rahmat Allah padaku dan ampunan-Nya terhadap dosa-dosaku
sehingga aku tidak mati dalam kesendirian sebagaimana yang terjadi
terhadap ibundaku dulu…”
(SUMBER: Qashash Wa Mawâqif Dzât
‘Ibar, disusun oleh ‘Adil bin Muhammad ‘Ali ‘Abdil ‘Aly, h.37-40,
sebagai dinukil dari Harian ‘Okâzh, Vol.31)
SABLON SUKOHARJO SOLO
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Amalan yang masih terus mengalir pahalanya walaupun setelah meninggal dunia, salah satunya adalah:
Ilmu yang bermanfaat, yaitu ilmu syar’i (ilmu agama)
yang ia ajarkan pada orang lain dan mereka terus amalkan, atau ia
menulis buku agama yang bermanfaat dan terus dimanfaatkan setelah ia
meninggal dunia.
apabila artikel ini bermanfaat silahkan share
melalui media sosial dibawah ini.barangkali ilmu yang bermanfaat bisa
memberikan pahala yang terus menerus saat anda berada di
akhirat...aamiin